Mengatasi Aritmia Dengan Ablasi Jantung
Mengatasi Aritmia Dengan Ablasi Jantung
Posted on 2021-08-07 03:02:37 by Admin Dokter Jantung

Jantung yang sehat berdetak teratur dengan kecepatan rata-rata 60-100 BPM (beats per minute atau detak per menit). Namun seseorang tanpa keluhan dengan 50 BPM pun dapat dikatakan normal asalkan kondisi jantungnya sehat dan mampu memompa darah ke seluruh tubuh dengan baik. Contohnya, individu yang tengah bermeditasi atau sedang beristirahat.

Detak tak beraturan dapat juga terjadi pada jantung yang kondisinya normal dan sehat, misalnya karena faktor luar seperti mengonsumsi zat tertentu (kafein, alkohol, zat adiktif, obat dll) atau mengalami ketidakstabilan emosional karena kecemasan, stress, dll.

Detak jantung yang tidak normal disebut sebagai aritmia atau disritmia. Kondisi ini terjadi ketika impuls listrik yang mengoordinasikan detak jantung mengalami gangguan sehingga menyebabkan jantung berdetak terlalu cepat (takikardia), terlalu lambat (bradikardia), atau tidak teratur (misalnya, hitungan detak terasa sesekali melompat). Ada banyak tipe dan penyebab aritmia, hal ini akan dibahas pada kesempatan lain. Beberapa jenis aritmia dapat berakibat fatal, termasuk memicu stroke hingga menyebabkan kematian.

Aritmia dapat dikendalikan dengan obat-obatan, prosedur invasif non-bedah, hingga pembedahan. Dalam kesempatan kali ini, DuoHanafy mengulas tentang prosedur non-bedah yang disebut sebagai catheter ablation atau cardiac ablation (ablasi jantung).
Saat prosedur ablasi jantung berlangsung, dokter memasukkan kateter untuk mengirim energi ke area tertentu pada jantung guna memblokir impuls listrik abnormal dan memperbaiki detak jantung agar normal kembali. Ablasi jantung dapat memanfaatkan energi panas dari radiofrekuensi maupun energi dingin (cryo ablation). Ablasi dapat dilakukan dengan bius lokal saja, tetapi pada keadaan tertentu dapat diberikan sedasi sampai bius umum.

Dokter jantung biasanya merekomendasikan ablasi jantung jika pasien telah menjalani pengobatan aritmia tanpa ada hasil, mengalami efek samping yang serius dari obat-obatan untuk mengobati aritmia, atau berisiko mengalami komplikasi dari aritmia (misalnya serangan jantung mendadak). Pasien lainnya yang turut disarankan menjalani ablasi jantung adalah mereka yang memiliki jenis aritmia tertentu yang merespon dengan baik terhadap ablasi, misalnya pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White dan takikardia supraventrikular. Ada kalanya dokter langsung menyarankan pasien menjalani ablasi sejak awal terdeteksi ada aritmia. Semakin dini ablasi dilakukan, semakin besar tingkat keberhasilan prosedur untuk membebaskan pasien dari aritmia sepenuhnya.

Pada umumnya, pasien yang telah menjalani ablasi jantung merasakan peningkatan kualitas hidup. Aritmia bisa kembali muncul di kemudian hari, tergantung pada jantung masing-masing pasien, itu pun jarang terjadi. Pemeriksaan berkala 3-6-bulan sekali tetap penting agar dokter dapat memonitor kondisi jantung pasien. Jika pasien mengalami aritmia kembali, dokter akan mengevaluasi secara keseluruhan sebelum menentukan apakah pasien bisa menjalani prosedur ablasi lagi atau memerlukan penanganan dengan cara lain, misalnya dengan bedah jantung.

Keterangan foto/gambar:
Atas: Dr. Dicky Hanafy, SpJP(K), FIHA, FAsCC saat melakukan tindakan ablasi jantung 3D.
Bawah: Ilustrasi detak jantung sebelum dan sesudah ablasi.

 

Prosedur non bedah

Bagikan: