SINKOP
SINKOP
Posted on 2021-09-12 11:36:22 by Admin Dokter Jantung

Kontributor: Dr. Dorothy S. C. Simanjuntak. 
 

Seseorang dapat mengalami penurunan kesadaran karena dua hal, yaitu traumatik yang diakibatkan oleh benturan pada kepala dan non-traumatik yang antara lain berupa sinkop (pingsan).1

Sinkop adalah kondisi kehilangan kesadaran akibat berkurangnya aliran darah ke otak (hipoperfusi serebral) secara mendadak, dalam durasi singkat, dan diikuti kembalinya kesadaran penuh secara spontan. Sinkop terjadi akibat penurunan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan hipoperfusi serebral. Tekanan darah adalah ukuran seberapa kuat jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Ketika tekanan darah terlalu rendah, aliran darah jantung tidak cukup kuat terpompa ke seluruh tubuh, termasuk ke otak.

Patofisiologi Sinkop

Patofisiologi sinkop dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah sistemik yaitu resistensi perifer dan total curah jantung. Resistensi perifer adalah tahanan terhadap aliran darah yang ditentukan oleh tonus otot pembuluh darah dan diameternya. Semakin kecil ukuran pembuluh darah perifer, semakin besar resistensinya terhadap aliran darah, dan semakin besar risiko tekanan darah arteri meningkat. Total curah jantung adalah jumlah volume darah yang dipompa oleh bilik kiri jantung selama semenit).

Penurunan resistensi perifer dapat disebabkan oleh vasodilatasi akibat withdrawal dari vasokonstriksi simpatetik, gangguan fungsi, dan kegagalan otonom (vasokonstriksi simpatis yang tidak adekuat saat berpindah ke posisi tegak). Penyebab utama penurunan curah jantung adalah bradikardia reflex, penyakit kardiovaskular (seperti aritmia, gangguan struktur berupa embolisme paru, dan hipertensi pulmonal), lemahnya aliran balik vena (aliran balik vena tidak adekuat) akibat deplesi volume atau pooling vena, dan inkompetensi kornotropik maupun inotropik akibat kegagalan otonom.1

Dari patofisiologi tersebut, sinkop dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sinkop refleks, sinkop kardiovaskular dan sinkop akibat hipotensi ortostatik.1

 

Gambar 1. Klasifikasi sinkop berdasarkan patofisiologi.1

Sinkop refleks merupakan sinkop yang dimediasi oleh refleks saraf yang menyebabkan vasodilatasi atau bradikardia. Dari sinkop tipe ini kemudain dibagi kembali menjadi sinkop vasovagal, sinkop situasional, sindrom sinus karotis, dan bentuk non klasik.1,2

Sinkop Vasovagal

Sinkop vasovagal merupakan sinkop refleksi yang disebabkan oleh emosi atau stres ortostatik, dengan gejala prodromal berupa berkeringat, pucat dan mual. Mekanisme sentral dan perifer keduanya berperan dalam patogenesis sinkop yaitu adanya refleks yang mengaktivasi penurunan denyut nadi yang cepat disertai penurunan tonus vaskular. Perubahan posisi menjadi tegak dapat menyebabkan pooling vena, yaitu 800 mL darah mengalir turun ke kaki. Untuk menjaga volume darah pada jantung, sistem otonom akan teraktivasi dan menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan denyut nadi. Akan tetapi, tepat setelah perubahan posisi, sinkop vasovagal dapat terjadi karena kehilangan preload yang akut, atau disebut empty heart syndrome.2

Mekanoreseptor pada dinding ventrikel kiri, aorta dan trunkus pulmonalis teraktivasi pada tahap tersebut. Reseptor sensoris pada jaras aferen vagal mendeteksi dan mengontrol pengisian jantung untuk menjaga tonus vaskular yang cukup. Stimulasi dari reseptor jantung inhibisi akan meningkatkan aktivitas parasimpatis dan menginhibisi aktivitas simpatis. Aktivasi dari refleks ini menyebabkan bradikardi, vasodilatasi dan hipotensi.2 

Diagnosis sinkop vasovagal memerlukan anamnesis dan pemeriksaan yang mendetail dikarenakan belum memiliki metode diagnostik yang definitif. Pemeriksaan awal yang umumnya dilakukan adalah pemeriksaan tekanan darah pada posisi berbaring dan berdiri, serta EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya aritmia. Pemeriksaan ekokardiografi juga terkadang dilakukan pemeriksaan ekokardiografi jika terdapat riwayat kelainan jantung atau dicurigai adanya gangguan struktur jantung sebagai penyebab sinkop. Dibawah ini merupakan algoritma diagnosis untuk sinkop pada umumnya.1,2 

Gambar 1. Alur diagnosis sinkop berdasarkan patofisiologi.1

Terdapat beberapa pemeriksaan khusus yang dilakukan pada pasien suspek sinkop vasovagal sebagai berikut.

  1. Tilt table test

Pada pasien dengan riwayat sinkop yang belum diketahui penyebabnya, pemeriksaan head-up tilt table dapat membantu penegakkan diagnosis. Prinsip pemeriksaan ini adalah melihat gejala pasien dengan mengobservasi denyut jantung dan tekanan darah. Terdapat beberapa variasi protkol yang digunakan untuk pemeriksaan pada fase stabilisasi inisial, durasi dari dimiringkannya pasien, dan juga penggunakan agen farmakologis. Protokol yang paling digunakan saat ini adalah dengan isoproterenol IV dan nitrogliserin sublingual. Setelah menjaga posisi berbaring selama 10 menit, pasien ditegakkan dengan sudut 60o. Jika setelah beberapa menit tidak muncul gejala, maka akan diberikan obat untuk menambah provokasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini masih memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama, tenaga medis yang ahli dan alat khusus. Kedua, reproduksibilitas pemeriksaan ini bervariasi. Ketiga, beberapa studi memnunjukkan bahwa mekanisme sinkop pada tilt table test berbeda dengan sinkop spontan. Oleh karena itu, pemeriksaan ini tidak digunakan untuk menentukan strategi terapi sinkop vasovagal.2

  1. Implantable loop recorder (ILR)

Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan artimia yang menjadi penanda risiko tinggi kematian akibat jantung. Alat ini diimplantasi pada hemitoraks kiri secara subkutan. Akan tetapi, indikasi pasti untuk dilakukan implantasi belum jelas, namun pasien dengan riwayat gangguan struktur jantung yang mengalami sinkop yang tidak diketahui penyebabnya atau memiliki risiko tinggi aritmia dapat dipasangkan ILR atau alat pacu.1,2

Tatalaksana vasovagal sinkop bertujuan untuk menurunkan rekurensi sinkop (terulangnya kejadian sinkop) dan trauma fisik. Pada pasien yang hanya mengalami 1 episode sinkop tanpa pekerjaan dengan risiko tinggi, misal seperti supir atau pilot, tidak diperlukan tatalaksana khusus. Edukasi terkait gejala dan pencetus sudah cukup untuk menangani pasien tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penilaian stratifikasi risiko dalam menentukan tatalaksana sinop vasovagal.1,2,3,

Terapi non farmakologis merupakan terapi utama sinkop vasovagal. Pasien perlu dijelaskan terkait pemicu refleks vasovagal yang perlu dihindari seperti lingkungan yang panas, lembab, terlalu lamam berdiri dan penurunan konsumsi air. Pada pasien lansia, obat antihipertensi dapat dihentikan jika pasien sering mengalami sinkop. Pasien juga diminta untuk mengenali gejala-gejala prodormal dari sinkop sehingga dapat berbaring atau duduk saat gejala tersebut timbul untuk mencegah pasien terjatuh. Beberapa manuver juga dapat dilakukan untuk meningkatkan aliran balik vena, seperti menggenggam tangan atau menyilangkan kaki.2,3

Beberapa obat sudah diteliti untuk diberikan sebagai terapi sinkop vasovagal. Akan tetapi, tidak ada data yang mendukung keunggulan satu obat dibandingkan yang lainnya sebagai terapi lini pertama. Beberapa obat yang dapat digunakan adalah beta blocker, midodrine, serotonin reuptake inhibitor. Pemasangan pacu jantung juga ditemukan dapat menurunkan rekurensi sinkop pada beberapa studi. Akan tetapi, hasil ini masih kontroversial, yaitu ditemukan tidak signifikan pada studi lainnya.2 

Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome (POTS)
POTS merupakan disregulasi otonom yang ditandai dengan takikardia ketika berpindah posisi menjadi berdiri. Kriteria dari POTS adalah intoleransi ortostatik yang ditandai dengan peningkatan denyut nadi ≥ 30 denyut per menit, dengan denyut nadi > 120 denyut per menit dalam 10 menit setelah berdiri, tanpa disertai adanya hipotensi ortostatik, yaitu penurunan tekanan sistolik ≥ 20 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 10 mmHg. POTS banyak ditemukan pada populasi usia muda, khususnya wanita premenopaus. POTS sering dibarengi dengan gejala presinkop namun dapat juga terjadi bersama dengan episode sinkop refleks.4

POTS dibagi menjadi 5 subtipe berdasarkan etiologinya, yaitu neuropatik, hiperadrenergik, hipovolemia, autoimun dan deconditioning. Diantara kelima etiologi tersebut, deconditioning kardiovaskular sudah terbukti berperan dalam patofisiologi POTS. Deconditioning fisik umunya ditemukan pada segala subtipe POTS dan dapat meningkatkan angka morbiditas. Tirah baring lama dapat memunculkan gejala takikardia bahkan pada individu yang sebelumnya sehat dan aktif. Beberapa parameter yang ditemukan pada pasien dengan kondisi ini adalah penurunan ukuran dan massa jantung, volume darah, curah jantung, dan volume oksigen puncak dibandingkan kontrol yang sedenter. Penemuan ini menunjukkan bahwa takikardia ortostatik pada POTS merupakan kompensasi dari curah jantung yang menurun pada kondisi atrofi jantung dan penurunan volume darah. Jika pasien beraktivitas fisik, biasanya terjadi perbaikan dari gejala jika disebabkan oleh mekanisme ini.4,5 

Gambar 3. Patofisiologi POTS.4

Gejala POTS bervariasi mulai dari ringan hingga berat, diantaranya palpitasi, lelah, diaforesis, tremor, intoleransi terhadap aktivitas fisik, presinkop atau sinkop rekuren pada posisi tegak. Gejala dieksaserbasi setelah aktivitas biasa, seperti makan, mandi, dan olahraga intensitas rendah. Gejala berat seperti penglihatan burma, sesak, mual, nyeri kepala, nyeri dada, ansietas juga dapat terjadi.4,5

Untuk menegakkan diagnosis POTS, perlu dieksklusi terlebih dahulu penyebab takikardia lainnya seperti gangguan jantung atau penyakit lainnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah gejala yang dirasakan pasien masuk dalam kriteria POTS yang telah dijelaskan sebelumnya. Gejala biasanya sudah terjadi selama lebih dari 6 bulan dan tidak adanya penyebab lain seperti perdarahan aktif, dehidrasi akut atau obat-obatan.6

 

Gambar 4. Tatalaksana POTS.6

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis POTS yang bertama adalah head-up tilt table yang merupakan metode standar untuk menilali pasien dengan gejala akibat perubahan postur. Pemeriksaan selanjutnya adalah standing test, yaitu pasien diminta untuk berdiri tegak dan menjaga keseimbangan, kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah dan denyut nadi setiap 2-3 menit. Pemeriksaan tersebut memiliki spesifisitas lebih tinggi terhadap POTS yaitu 79% dibandingkan dengan head-up tilt table yang hanya 23%. Pemeriksaan darah juga dapat dilakukan, yaitu kadar noradrenalin karena salah satu etiologi dari POTS yaitu hiperadrenergik. Pengambilan darah dilakukan pada posisi berbaring dan berdiri setelah 15 menit pasien berada di posisi tersebut. Peningkatan noradrenalin pada posisi berdiri mengindikasikan pasien sebagai POTS subtipe hiperadrenergik. Pemeriksaan terakhir adalah dilusi isotop nuklir yang dapat menunjukkan adanya hipovolemia pada pasien.4,6

Tatalaksana POTS dapat berupa kombinasi dari aktivitas fisik, tatalaksana nonfarmakologis alinnya dan pada beberapa kasus diberikan terapi farmakologis. Pada awal diagnosis, pasien diminta tunuk beraktivitas fisik selama 3 bulan pertama. Olahraga yang dapat dilakukan adalah bersepeda atau berenang dimana pasien menghindari posisi berdiri terlebih dahulu. Saat pasien sudah terbiasa, intensitas dan sesi olahraga dapat ditingkatkan dan juga mulai dicoba olahraga dengan posisi berdiri.6

Terapi nonfarmakologis lainnya yang dapat dilakukan adalah menghindari pemicu, seperti suhu panas, berdiri terlalu lama, puasa, konsumsi alkohol berlbeih, obat-obatan vasodilatasi. Makan dalam jumlah besar yang mengandung banyak lemak dan karbohidrat kompleks juga dapat dihindari karena dapat meningkatkan gejala postprandial akibat peningkatan aliran darah ke saluran pencernaan. Pasien juga direkomendasikan untuk minum pada pagi hari setelah bangun dari tempat tidur atau jika sudah terlalu lama berdiri untuk mencegah munculnya gejala dan setiapnya direkomendasikan untuk minum air 3 liter. Beberapa manuver fisik juga dapat dilakukan seperti leg crossing atau squating untuk mencegah sinkop vasovagal yang sering kali terjadi bersama dengan POTS. Pasien dengan POTS juga disarankan untuk tidur dengan posisi reverse Trendelenburg. Posisi tersebut menurunkan hipertensi pada posisi berbaring sehingga menurunkan diuresis nokturnal dan menjaga volume plasma. Posisi ini juga meminimalisasi supresi dari ADH dan sistem RAA sehingga gejala pagi hari dapat berkurang.4,6

Terapi farmakologi sebaiknya dihindari karena memiliki efek samping dan belum ada penelitian yang menunjukkan efikasinya. Medikasi diberikan pada pasien dengan gejala berat yang sulit diinisasi untuk program olahraga. Obat-obatan yang dapat dipakai adalah betablocker, fludrokortison, ivabradin, eritropoietin, piridostigmin bromide, vasokonstriktor dan NSAIDs.4,6

Perbedaan Sinkop Vasovagal dan POTS

Sinkop vasovagal dan POTS sering kali ditemukan terjadi bersamaan. Namun, terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat membedakan kedua penyakit ini. Pada saat pemeriksaan head-up tilt table pasien dengan sinkop vasovagal biasanya setelah ditegakkan tekanan darahnya stabil selama 10 menit, kemudian setelah itu baru menurun secara cepat. Pada pasien POTS, biasanya pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya penurunan tekanan darah, namun ditandai dengan peningkatan denyut nadi. Berikut merupakan tabel yang membedakan antara sinkop vasovagal dan POTS.

Tabel 1. Perbedaan sinkop vasovagal dan POTS.7

Referensi :

  1. Brignole M, Moya A, de Lange F, Deharo J, Elliott P, Fanciulli A et al. 2018 ESC Guidelines for the diagnosis and management of syncope. European Heart Journal. 2018;39(21):1883-948.
  2. Aydin M. Management and therapy of vasovagal syncope: A review. World Journal of Cardiology. 2010;2(10):308.
  3. Krediet C, van Dijk N, Linzer M, van Lieshout J, Wieling W. Management of Vasovagal Syncope. Circulation. 2002;106(13):1684-9.
  4. Bryarly M, Phillips LT, Fu Q, Vernino S, Levine BD. Postural orthostatic tachycardia syndrome: JACC focus seminar. J Am Coll Cardiol. 2019;73(10):1207-28.
  5. Zhao S, Tran V. Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021 [cited 12 July 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541074/
  6. Howraa A, Patrick A B, Le-Xin W. Diagnosis and management of postural orthostatic tachycardia syndrome: A brief review. Journal of Geriatric Cardiology. 2012;9(1):61-7.

Nwazue V, Raj S. Confounders of Vasovagal Syncope. Cardiology Clinics. 2013;31(1):101-9.

Bagikan: